Inilah Sejarah Lengkap Watu Blorok Mojokerto

Mojokerto – Nama Watu Blorok sudah tidak asing lagi bagi warga Mojokerto, khususnya yang bermukim di wilayah utara Sungai Brantas. Namun yang tak banyak orang tahu, batu yang dikeramatkan itu memendam legenda kutukan dari kesatria zaman Majapahit.

Watu Blorok terletak di pinggir jalan raya Mojokerto-Gresik. Tepatnya sekitar 100 meter dari permukiman penduduk Dusun Pasinan, Desa Kupang, Kecamatan Jetis, atau di tepi hutan Perhutani. Jaraknya hanya sekitar 9 km dari Alun-alun Kota Mojokerto.

Batu dengan diameter sekitar 1 meter ini nampak mencolok karena diberi peneduh berbahan galvalum. Kain putih lusuh menyelimuti Watu Blorok. Taburan kembang yang sudah mengering menghiasi puncaknya. Aroma wangi menyeruak dari dupa yang dibakar di bawahnya.

“Disebut Watu Blorok karena batunya ada bintik-bintiknya. Hutan di sekitarnya juga dinamai Alas (hutan) Watu Blorok,” ujar Musawamah (42), warga Dusun Pasinan saat berbincang dengan, Minggu (3/1/2021).

Watu Blorok ini konon berhubungan dengan sebuah batu di seberangnya yang tidak terawat. Batu yang ukurannya lebih kecil itu posisinya sejajar dengan Watu Blorok. Kedua batu tersebut dipisahkan jalan raya.

Legenda yang selama ini dipercaya masyarakat setempat, Watu Blorok merupakan jelmaan Roro Wilis. Sedangkan batu di seberangnya adalah sosok Joko Welas. Mereka merupakan kakak beradik keturunan kesatria dari Majapahit.

“Mereka dikutuk menjadi batu karena nekat masuk ke hutan terlarang. Dulunya Alas Watu Blorok ini hutan terlarang,” tandas Musawamah.

Pemerhati Sejarah Lokal Iwan Abdillah menjelaskan, hutan di sekitar Watu Blorok dulunya disebut Hutan Mojoroto. Legenda batu tersebut berlatar belakang zaman Majapahit. Dikisahkan pada masa itu ada seorang kesatria abdi kerajaan bernama Wiro Bastam.

Wiro ditugaskan raja untuk berburu karena permaisuri mengidam ingin memakan hati kijang kencana. Kijang tersebut konon hanya ada di Hutan Mojoroto. Namun, perburuan yang dilakukan Wiro gagal. Kijang kencana kabur dengan tombak Wiro masih menancap di tubuhnya.

“Anak Wiro Bastam yang laki-laki bernama Joko Welas dan perempuan bernama Roro Wilis mencoba membantu ayahnya mencari jejak kijang kencana yang terkena tombak,” pungkasnya.

Dalam perjalanan ke Hutan Mojoroto, lanjut Iwan, Joko Welas berduel dengan para pertapa di sebuah sendang karena terjadi salah paham di antara mereka. Menurut dia, sendang tersebut diyakini berada di Desa Jolotundo, Kecamatan Jetis.

Sedangkan adiknya, Roro Wilis tercebur ke sumur beracun di hutan Bendo, Jolotundo gara-gara dijebak seorang nenek tua. Kulit sekujur tubuh Roro Wilis menjadi berbintik-bintik hitam putih (blorok) karena tercebur ke sumur beracun itu. Saat adik kakak ini bertemu, Joko Welas tidak percaya perempuan itu adik kandungnya.

“Beberapa waktu kemudian Wiro Bastam menghampiri mereka. Melihat kedua anaknya saling berdebat, dia menanyakan apa yang sedang terjadi. Dua-duanya malah diam seribu bahasa. Wiro Bastam marah sambil mengutuk kedua anaknya tersebut menjadi batu,” ungkapnya.

Salah seorang warga yang dituakan di Dusun Pasinan Sauji mempunyai versi sendiri terkait legenda Watu Blorok. Pria 86 tahun ini tinggal di kampung ini sejak Maret 1965. Dia bekerja di Perhutani KPH Mojokerto sejak 1967 sehingga menetap di kampung ini hingga sekarang.

“Cerita dari orang-orang tua di sini dan juga keyakinan saya, Watu Blorok bukan jelmaan manusia. Karena tidak masuk akal dengan kondisi di sekitarnya,” cetus kakek 4 cucu ini mengawali ceritanya.

Bapak dua anak ini menuturkan, Watu Blorokkonon menjadi bukti pelarian Raja Majapahit Jayanegara karena pemberontakan Ra Kuti tahun 1319 masehi. Ra Kuti adalah salah seorang Dharmaputra Majapahit yakni pegawai istimewa yang disayangi raja.

Dalam pelariannya, Jayanegara dikawal pasukan Bhayangkara yang dipimpin Gajah Mada. Rombongan raja bersembunyi di Hutan Mojoroto yang kini disebut Hutan Watu Blorok.

“Watu Blorok itu menjadi pos penjagaan. Karena lokasinya tinggi, sekitar 80 mdpl. Di atasnya ada bukit Pasinan tingginya 85 mdpl. Sehingga mudah untuk memantau ke arah selatan atau arah kerajaan yang ada di Trowulan,” pungkas Sauji.

Sauji juga mengemukakan bukti lainnya untuk mendukung ceritanya tersebut. “Arah tenggara dari Watu Blorok ada sumur yang tidak pernah mengering, tanda kalau pernah dihuni manusia. Ada bukit datar di dekat sumur sebagai tempat berkemah pasukan,” ujarnya. (Mar)

Leave a Reply